PURWOREJO | PortalIndonesiaNews.Net — Dunia pendidikan Purworejo kembali diterpa badai hebat! Dalam audiensi panas antara Komisi IV DPRD Kabupaten Purworejo, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), Inspektorat, serta perwakilan LSM dan wali murid, terungkap fakta mencengangkan soal dugaan pungutan liar (pungli), gratifikasi, dan penahanan ijazah di sekolah negeri. Selasa 28/10/2025
Namun yang paling mengejutkan datang dari pengakuan Kepala Inspektorat Kabupaten Purworejo, Drs. R. Achmad Kurniawan Kadir, MPA.
Dalam forum tersebut, ia mengungkap bahwa selama masa jabatannya, Inspektorat telah menemukan pelanggaran di salah satu SMP Negeri di Purworejo yang diselesaikan dengan sanksi pengembalian dana.
“Kami temukan adanya penyimpangan, dan sudah kami perintahkan untuk mengembalikan uangnya,” ujar Achmad Kurniawan dalam forum itu.
Namun, pernyataan tersebut justru memicu gelombang kritik keras. Sugiyono, S.H.: “Ini Bukan Penegakan Hukum, Ini Komedi Hukum!”
Mendengar pengakuan itu, Sugiyono, S.H., aktivis hukum sekaligus perwakilan LSM Kresna Cakra Nusantara, menilai langkah Inspektorat terlalu lunak dan berpotensi melanggengkan praktik korupsi di dunia pendidikan.
“Dari cara beliau bicara, saya justru melihat kode alam — para pejabat pendidikan kita ini kompak luar biasa. Guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan, dan Inspektorat semua seirama, bahkan seragam kemeja batik! Tapi di balik seragam itu, saya mencium aroma yang disembunyikan,” sindir Sugiyono.
Ia menilai, penanganan kasus pungli yang hanya disanksi dengan pengembalian uang tanpa proses hukum, sama saja melegalkan pelanggaran.
“Dasar hukum sangat jelas. Gedung sekolah dan fasilitasnya adalah milik negara. Siapa pun yang menggunakan fasilitas negara untuk mencari anggaran, dengan dalih apa pun, itu sudah salah. Kalau praktiknya dilakukan secara sistematis dan melibatkan pihak sekolah, itu potensi pungli, gratifikasi, bahkan korupsi!” tegasnya.
“Tapi di Purworejo ini, kalau ketahuan pungli, cukup kembalikan uang, selesai. Enak sekali jadi pelaku! Ini bukan pembinaan, ini pembenaran,” tambahnya pedas,
“Berlindung di Perbup, Tapi Tak Paham Makna Hukum”
Menurut Sugiyono, banyak pejabat pendidikan bersembunyi di balik Peraturan Bupati (Perbup) tentang sumbangan pendidikan tanpa memahami substansinya.
“Mereka sering bilang, sekolah boleh menerima sumbangan. Betul, tapi yang dilakukan bukan menerima, melainkan meminta! Itu beda makna hukum yang besar. Faktanya, di dalam gedung milik negara, mereka memungut uang atas nama komite, karyawan, atau paguyuban kelas — semua diciptakan hanya untuk mengelabui publik,” ungkapnya.
Ia juga menilai munculnya istilah baru seperti paguyuban kelas dan parenting hanyalah bentuk kamuflase pungli terselubung.
“Dunia pendidikan kita kini dipenuhi tipu muslihat. Ironisnya, mereka yang seharusnya mendidik justru memberi contoh buruk dalam hal moral dan mental,” ujarnya.
Kisah Wali Murid dan Siswa yang Jadi Korban
Dugaan pungli di sekolah tidak hanya berhenti pada pengumpulan uang.
Trias, wali murid SMPN 3 Purworejo sekaligus Sekretaris Desa Sukoharjo, menceritakan pengalaman pahit ketika anaknya menjadi korban perundungan (bullying) akibat orang tuanya menolak membayar pungutan sekolah.
“Anak saya dipermalukan di depan teman-temannya karena belum bayar. Sudah hampir dua minggu dia takut masuk sekolah. Ini bukan sekadar uang, ini sudah kekerasan moral,” ujarnya lirih.
Tak berhenti di situ, Trias juga mengaku mendapat tekanan setelah bersuara.
“Saya dikeluarkan dari grup Sekdes oleh Camat Kutoarjo, Nur Huda, hanya karena menyinggung soal pungli. Ini sistem yang menakutkan,” tambahnya.
LSM Ungkap Modus Uang Ratusan Juta di SMP Negeri
Sugiyono juga membongkar data yang menyebutkan adanya peredaran uang pungli hingga Rp800 juta per tahun di beberapa SMP negeri di Purworejo, termasuk SMPN 13 dan SMPN 3.
“Komite sekolah bahkan menggaji diri mereka sendiri dari hasil pungutan wali murid. Ini bukan sumbangan — ini pungli yang dilegalkan dengan seragam batik dan tanda tangan pejabat!” tegasnya.
Ia menyebut praktik itu sudah berjalan lebih dari 10 tahun, bahkan disamarkan dengan istilah “uang partisipasi”, “uang kegiatan”, dan “donasi pembangunan”.
Kepala Sekolah dan Dinas Dituding “Main Aman”
Kepala SMPN 13 Purworejo, Achmad Yulianto, mencoba menenangkan situasi dengan menyatakan bahwa sekolah telah mengumumkan pengambilan ijazah tanpa biaya.
Namun LSM menilai pengumuman itu hanya bentuk kepanikan setelah kasus mencuat ke publik.
“Kalau tidak viral, ijazah itu tidak akan dibagikan. Jangan pura-pura bersih setelah ketahuan,” ucap Sugiyono.
Inspektorat Dinilai Tak Netral
Kehadiran Kepala Inspektorat Purworejo di forum DPRD dengan seragam batik yang sama dengan pejabat Dinas Pendidikan menimbulkan tanda tanya publik.
“Itu bukan kebetulan. Itu simbol kekompakan. Tapi kekompakan untuk saling lindungi, bukan untuk menegakkan keadilan,” ujar Sugiyono dengan nada sinis.
Desakan Audit dan KPK Turun ke Purworejo
LSM Kresna Cakra Nusantara secara resmi telah menyerahkan permohonan audit dana BOS dan pungutan wali murid tahun 2022–2023 kepada Komisi IV DPRD.
Sugiyono menegaskan, jika tidak ada langkah nyata dari Pemkab, KPK harus turun tangan.
“Kalau pelanggaran seperti ini hanya dihukum pengembalian uang, habis sudah wibawa hukum. Kami minta Bupati dan DPRD berani buka semua data. Jangan biarkan dunia pendidikan dikendalikan oleh oknum bermodus suci,” tegasnya.
DPRD: Hentikan Pungli, Kembalikan Ijazah, Audit Dana BOS!
Komisi IV DPRD Purworejo menegaskan akan melaporkan hasil audiensi ini kepada Ketua DPRD dan menuntut tindakan nyata dari Dinas Pendidikan dan Inspektorat.
“Kami akan kawal hingga tuntas. Semua ijazah yang ditahan harus dikembalikan, dan tidak boleh ada pungutan liar berkedok sumbangan di sekolah negeri,” tegas Nur Hidayat Pramudyanto, anggota Komisi IV.
Publik Bertanya: Siapa yang Akan Dibersihkan Sekolahnya, atau Hati Para Pejabatnya?
Kini, bola panas berada di tangan Bupati Purworejo.Apakah ia akan menindak tegas para oknum yang merusak dunia pendidikan, atau justru memilih diam bersama “kompaknya seragam batik” yang disebut Sugiyono sebagai simbol solidaritas dalam menutup-nutupi kesalahan?
Laporan : ika






