Purworejo | PortalIndonesiaNews.Net — Dunia pendidikan kembali diguncang oleh praktik mencurigakan yang mencoreng integritas sekolah negeri. Sebuah video rapat pleno komite SMP Negeri 3 Purworejo beredar luas dan memicu kemarahan publik. Dalam rekaman tersebut, tampak pembahasan “sumbangan sukarela” dari orang tua murid — namun dengan nilai yang secara tersirat sudah ditentukan.
Dalam cuplikan percakapan rapat itu disebutkan rencana anggaran komite sebesar Rp850 juta, dengan pembagian ke 550 siswa, menghasilkan nominal Rp1.545.000 per siswa.
Meski disebut “sumbangan atas dasar keikhlasan tanpa paksaan”, pernyataan lanjutan justru menimbulkan kecurigaan besar. Disebutkan bahwa jika wali murid hanya menyumbang Rp500.000 “terkesan kurang luwes”, bahkan akan dibuat surat pernyataan kesanggupan dari orang tua siswa.
Hal ini memunculkan dugaan kuat bahwa sumbangan tersebut bukan murni sukarela, melainkan berbau pemaksaan dan rekayasa sistematis.
Kolaborasi Sistemik di Balik Layar
Menurut Sugiyono, SH, selaku DPN Bidang SDM LPKSM Kresna Cakra Nusantara, praktik seperti ini bukan hal baru di dunia pendidikan, namun kasus di SMPN 3 Purworejo mencerminkan adanya kolaborasi sistemik antara pihak sekolah, komite, paguyuban, dan oknum dinas pendidikan yang sengaja mengatur pola pungutan dengan kedok sumbangan.
“Ini bukan sekadar inisiatif sekolah, tapi bentuk tipu muslihat yang terorganisir rapi. Fasilitas milik negara dijadikan lahan mencari keuntungan kelompok. Pengawasan lemah, dan ini terjadi bertahun-tahun tanpa tindakan nyata,” tegas Sugiyono.
Ia juga menyoroti dugaan pembiaran oleh aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan Negeri Purworejo maupun Polres Purworejo, yang seolah menutup mata terhadap praktik manipulatif tersebut.
“Kalau benar ada perhatian khusus atau pembiaran, maka ini bukan sekadar pelanggaran administrasi — ini kejahatan terstruktur yang mencederai keadilan sosial. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada hukum,” ujarnya.
Dasar Hukum Dugaan Pelanggaran
Beberapa aturan yang berpotensi dilanggar dalam praktik tersebut antara lain:
1. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah
Pasal 10 ayat (1):
“Komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya.”
Artinya, komite sekolah hanya dapat menerima sumbangan yang benar-benar sukarela, bukan ditetapkan atau dipaksakan dalam jumlah tertentu.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Sebagai perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melarang setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya (gratifikasi).
3. Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan atau Paksaan
Dapat diterapkan apabila terdapat unsur tekanan terhadap wali murid agar menyetujui nominal sumbangan tertentu.
4. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Pemerintah tentang Wajib Belajar
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Ketentuan ini menegaskan bahwa pendidikan dasar adalah tanggung jawab negara dan diselenggarakan tanpa pungutan biaya yang membebani masyarakat.
Dalam program wajib belajar 9 tahun (yang kini diperluas menjadi 12 tahun), pemerintah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan secara gratis pada satuan pendidikan negeri, termasuk di SMP negeri seperti SMPN 3 Purworejo.
Desakan Publik dan Seruan Transparansi
Kasus ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat, aktivis pendidikan, hingga pengamat kebijakan publik. Mereka mendesak Inspektorat dan Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo untuk segera melakukan audit terbuka dan investigasi mendalam terhadap seluruh penggunaan dana komite sekolah.
Publik juga menuntut agar pihak sekolah membuka secara transparan dasar penetapan anggaran Rp850 juta dan alasan munculnya angka Rp1,5 juta per siswa.
Langkah ini dinilai penting untuk mencegah adanya praktik pemaksaan, penyalahgunaan wewenang, dan monopoli kegiatan di lingkungan sekolah negeri.
Sugiyono menegaskan,
“Sekolah seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai kejujuran, bukan sarana menekan masyarakat dengan dalih keikhlasan. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, moral pendidikan akan runtuh lebih cepat dari yang kita bayangkan.”
Catatan Redaksi:
Kasus SMPN 3 Purworejo menjadi cermin buram wajah pendidikan nasional hari ini. “Sumbangan sukarela” seharusnya tidak menjadi alat tekanan bagi wali murid.
Masyarakat berharap pemerintah dan aparat hukum benar-benar hadir untuk mengakhiri praktik manipulatif yang telah lama dibiarkan hidup di balik dinding sekolah negeri — demi mengembalikan marwah pendidikan yang bersih, adil, dan bebas pungutan terselubung.
Laporan : ika