Purbalingga | PortalIndonesiaNews.Net — Di tengah euforia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), aroma bisnis menyusup ke dalam institusi pendidikan negeri. Sejumlah sekolah negeri di Kabupaten Purbalingga diduga melakukan praktik jual beli bahan seragam yang bertentangan dengan aturan resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Praktik ini disebut-sebut bukan hal baru, namun kini menjadi sorotan karena semakin terang-terangan dilakukan—bahkan di lingkungan sekolah.
Praktisi hukum Rasmono, SH, angkat bicara.
“Kemendikbud secara tegas melarang sekolah menjual bahan atau seragam sekolah. Ini untuk mencegah pungli dan meringankan beban orang tua. Aturan jelas tercantum dalam PP Nomor 17 Tahun 2010,” tegasnya.
“Pasal 181 menyebutkan, pendidik dan komite sekolah dilarang melakukan praktik jual beli seragam kepada siswa atau orang tua,” tambahnya.
Namun realitanya berbicara lain.
SMPN 1 Kutasari Jadi Sorotan
Salah satu kasus mencuat di SMP Negeri 1 Kutasari, yang diduga kuat menjual bahan seragam melalui toko di dalam area sekolah. Dugaan tersebut bahkan dibenarkan oleh kepala sekolah, Endang Kismaryani, S.Pd.
“Kami hanya memfasilitasi. Tidak ada kewajiban membeli di sini. Barang itu titipan distributor, kalau tidak laku tinggal dikembalikan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut memantik tanya: Jika tidak wajib, mengapa banyak orang tua merasa terpaksa membeli?
Orang Tua Tertekan, Lapor Tapi Diabaikan
Salah satu wali murid berinisial BD mengungkapkan kekecewaannya.
“Seragam anak laki-laki saja bisa Rp1,25 juta, perempuan bahkan sampai Rp1,58 juta. Itu belum biaya jahit. Sangat berat di kondisi seperti sekarang,” keluhnya.
“Saya sudah lapor ke Masbub (pejabat terkait), tapi tidak ditanggapi. Terpaksa cari baju lungsuran biar anak tetap sekolah.”
Situasi ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta nihilnya sanksi atas pelanggaran aturan yang jelas-jelas telah ditetapkan.
Bisnis Berkedok Fasilitasi?
Label “fasilitasi” tampaknya jadi tameng. Namun ketika proses itu menimbulkan beban ekonomi dan mengarah pada keterpaksaan, maka patut dipertanyakan siapa sebenarnya yang diuntungkan.
Praktik semacam ini, jika terus dibiarkan, bukan hanya mencederai semangat pendidikan, tapi juga memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap sistem sekolah negeri.
Apakah akan terus dibiarkan?
Di mana peran Dinas Pendidikan Purbalingga?
Dan siapa sebenarnya yang bermain di balik bisnis seragam sekolah ini?
Laporan : isk