TEMBILAHAN – PortalIndonesiaNews.Net — Awan gelap kembali menyelimuti pengelolaan Pelabuhan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. PT Pelindo Tembilahan kini berada di pusaran sorotan tajam publik usai muncul dugaan pungutan tak sesuai aturan dan wacana alih fungsi lahan pelabuhan menjadi kawasan kuliner “Pujasera Pelindo”.
Fakta lapangan menunjukkan adanya keluhan dari pengguna jasa pelabuhan terkait tarif kendaraan roda dua sebesar Rp3.000 yang tertera di karcis atas nama Koperasi Pelindo. Padahal, Peraturan Daerah (Perda) Inhil Nomor 28 Tahun 2010 dengan tegas menetapkan tarif resmi hanya Rp1.000 untuk roda dua dan Rp2.000 untuk roda empat.
Pihak Pelindo Tembilahan membantah telah melanggar aturan. Mereka berdalih pungutan itu adalah pas kendaraan, bukan tarif parkir umum, dan mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor PM 84 Tahun 2018, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran GM Pelindo Tembilahan tertanggal 24 Februari 2021 yang disebut telah mendapat persetujuan KSOP Tembilahan.
Namun, publik justru balik bertanya: di mana transparansi pengelolaan? Status hukum Koperasi Karyawan Pelabuhan Tembilahan, mekanisme pencatatan dana, hingga distribusi hasil pungutan belum pernah dibuka ke publik.
Tidak berhenti di situ, sorotan juga tertuju pada praktik penyewaan lahan pelabuhan untuk warung, kios, dan kedai kopi. Tarif sewa disebut mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Dengan lebih dari 30 unit usaha aktif, potensi pendapatan diperkirakan tembus Rp1,296 miliar dalam tiga tahun. Hingga kini, belum jelas apakah pendapatan itu masuk kas negara, kas daerah, atau sepenuhnya dikelola internal Pelindo dan mitranya.
Di tengah isu pungutan dan sewa lahan, mencuat pula rencana mengubah sebagian kawasan pelabuhan menjadi Pujasera Pelindo. Para pengamat menilai langkah ini rawan menabrak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta aturan Kementerian BUMN, jika dilakukan tanpa restu resmi dari Kemenhub dan Kementerian BUMN.
Yopi Agustriansyah, Ketua Karang Taruna Tembilahan Hulu sekaligus mahasiswa hukum UNISI, mengingatkan bahwa pelabuhan adalah aset strategis negara yang tidak boleh diprivatisasi secara sepihak.
“Alih fungsi pelabuhan menjadi area komersial seperti pujasera tidak bisa asal jalan. Harus sesuai Rencana Induk Pelabuhan, ada izin resmi, dan tidak boleh bertentangan dengan aturan. Kalau dilakukan sepihak, ini sangat rawan melanggar hukum,” tegasnya, Kamis (14/8/2025).
Yopi juga menyoroti potensi kerugian negara jika pengelolaan sewa kios tidak transparan. “Aset negara itu untuk kepentingan publik, bukan memperkaya segelintir pihak,” tandasnya.
Polemik Pelabuhan Tembilahan ini menambah deretan panjang persoalan tata kelola aset pelabuhan di Indonesia. Pemerhati maritim mendesak pemerintah pusat segera turun tangan dan melakukan audit menyeluruh, memastikan setiap rupiah hasil pengelolaan benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat, bukan menguap tanpa jejak.
Laporan: marno