PURWOREJO | PortalIndonesiaNews.Net — Dunia pendidikan kembali tercoreng. Kasus memilukan menimpa anak seorang Sekretaris Desa (Sekdes) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Semuanya bermula dari keberanian sang ayah, Trias Arfianto (45), Sekdes Sokoharjo, Kecamatan Kutoarjo, yang mengungkap dugaan pungutan liar (pungli) di SMP Negeri 3 Purworejo.
Namun, alih-alih mendapat tanggapan positif, anaknya justru dibully dan dipermalukan oleh guru di sekolah!
“Sumbangan Sukarela” Rasa Paksaan: Nominal Diatur, Batas Waktu Ditetapkan!
Trias menuturkan, dugaan praktik pungli bermula dari sistem “sumbangan sukarela” yang diterapkan pihak sekolah.
Namun anehnya, setiap siswa wajib membayar dengan nominal Rp1,3 juta pada 2023 dan Rp1,6 juta di tahun 2025.
Mereka yang belum membayar ditagih terus — baik lewat grup WhatsApp wali murid, maupun saat pengambilan rapor.
“Sumbangan kok ada jumlah dan tenggat waktu? Kalau tidak bayar, anak disindir dan dikucilkan. Ini bukan sukarela, tapi paksaan berkedok sumbangan,” ujar Trias tegas.
Ia menambahkan, para orang tua sebenarnya takut bersuara, karena khawatir anak mereka akan diperlakukan tidak adil oleh guru.
Guru Arogan dan Diduga Bully Anak Sekdes di Kelas
Puncak peristiwa terjadi ketika seorang guru seni tari bernama Zulletri diduga melakukan perundungan verbal terhadap anak Trias di depan teman-temannya.
Menurut pengakuan sejumlah siswa, guru tersebut melontarkan kata-kata kasar dan hinaan yang menyinggung status orang tua siswa tersebut.
“Semua anak di kelas tahu, itu karena bapaknya menolak pungli sekolah,” ungkap salah satu siswa yang enggan disebut namanya.
Akibatnya, korban mengalami trauma berat dan tak mau berangkat sekolah.
Tindakan sang guru disebut telah melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak karena termasuk kekerasan psikis di lingkungan pendidikan.
Wartawan Datang, “Preman Sekolah” Muncul!
Drama semakin panas saat tim media dan lembaga advokasi mendatangi sekolah untuk meminta klarifikasi.
Alih-alih disambut dengan baik, rombongan justru dihadapkan oleh seseorang dari lingkungan sekolah yang mengaku sebagai preman.
“Ya, saya preman di sini!” teriaknya dengan nada tinggi di depan awak media dan pendamping hukum.
Pernyataan itu sontak menggegerkan publik.
Beberapa guru justru diam dan tidak menegur tindakan arogan tersebut, Bahkan Mencoba mehalangi Jurnalis Yang Meliput, Hal Tersebut menimbulkan dugaan bahwa kehadiran “preman sekolah” bukan hal asing di sana.
“Kalau guru dan preman bisa sejalan, berarti ada sistem yang busuk di dalam sekolah negeri itu,” ujar seorang aktivis pendidikan lokal dengan nada geram.
Desakan Hukum dan Moral dari Publik, Kasus ini kini menjadi sorotan luas.
Warga, aktivis, hingga pegiat pendidikan mendesak Dinas Pendidikan Purworejo dan Unit PPA Polres Purworejo untuk segera turun tangan.
“Guru yang membully anak hanya karena orang tuanya jujur menolak pungli, itu sudah kehilangan hati nurani. Harus dipecat dan diproses hukum,” kata Sugiyono, SH, dari LPKSM Kresna Cakra Nusantara.
Publik menilai, tindakan arogan dan dugaan pungli ini adalah potret nyata kebobrokan moral di dunia pendidikan daerah.
Sekolah Seharusnya Mendidik, Bukan Mengintimidasi!
Kasus SMP Negeri 3 Purworejo kini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan.
Jika sekolah negeri mulai dikuasai oleh budaya pungli, arogansi, dan intimidasi, maka nasib generasi muda sedang dipertaruhkan.
“Sekolah bukan tempat menebar ketakutan, tapi tempat menanamkan nilai. Kalau guru bermental preman, masa depan anak-anak kita akan gelap,” pungkas Sugiyono tegas.