SEMARANG – PortalIndonesiaNews.Net | Rokok bercukai resmi selama ini dianggap aman dari praktik ilegal. Namun, sejumlah temuan menunjukkan adanya penyimpangan di balik peredaran rokok yang sebenarnya sah secara hukum. Fakta menarik lainnya, perbedaan tarif cukai antara rokok kretek dan rokok filter justru membuka celah bagi oknum industri untuk melakukan manipulasi.
Fakta Perbedaan Cukai Rokok Filter dan Kretek
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menetapkan tarif cukai berbeda untuk jenis rokok:
1. Rokok Kretek Tangan (SKT) – Cukai relatif lebih rendah karena dianggap produk padat karya dan melibatkan banyak tenaga kerja manual.
2. Rokok Kretek Mesin (SKM) – Tarif lebih tinggi dibanding SKT, namun masih di bawah rokok putih.
3. Rokok Putih/Filter (SPM) – Tarif cukai paling tinggi, dengan alasan kandungan nikotin yang lebih kuat serta konsumsi dominan kelas menengah ke atas.
Perbedaan tarif inilah yang menjadi titik rawan penyimpangan, karena pabrikan bisa “memainkan” klasifikasi produk untuk menekan biaya cukai.
Dugaan Penyimpangan di Lapangan
Berdasarkan penelusuran beberapa sumber internal industri, terdapat beberapa modus yang belum banyak diketahui publik:
Pengelabuan jenis rokok: Rokok filter diproduksi dan dikemas menyerupai kretek untuk mendapatkan tarif cukai lebih rendah.
Pencampuran bahan baku: Beberapa pabrik mencampur tembakau filter dengan cengkeh dalam kadar sangat minim, lalu melabelinya sebagai “kretek mesin” agar bisa menghindari tarif tinggi.
Distribusi silang: Produk resmi bercukai filter dijual dengan harga mendekati kretek, memicu persaingan tidak sehat antar merek.
Manipulasi pita cukai: Ada dugaan pita cukai kretek ditempel pada produk filter, sehingga secara dokumen terlihat legal, namun sesungguhnya menyalahi klasifikasi.
Fenomena di Jawa Tengah dan DIY
Temuan paling mencolok justru banyak ditemukan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di wilayah ini, beredar luas rokok bercukai resmi yang berlabel kretek, namun setelah dibuka isinya ternyata rokok filter atau mild.
Praktik ini dilakukan dengan cara menempelkan pita cukai kretek pada produk rokok mild yang seharusnya terkena tarif lebih tinggi. Dengan begitu, harga jual bisa ditekan lebih murah dan tampak legal di pasaran. Fenomena ini kerap ditemukan di kios-kios kecil hingga pasar tradisional, sehingga sulit ditelusuri oleh aparat karena kemasannya resmi ber-cukai.
Lebih jauh, beredar dugaan kuat bahwa praktik ini tidak mungkin berdiri sendiri. Ada kemungkinan sebagian produsen rokok bermain dengan oknum pihak cukai untuk meloloskan pita cukai yang tidak sesuai klasifikasi. Kolaborasi semacam ini membuat pengawasan di lapangan seolah longgar, sementara produk menyimpang tetap beredar luas tanpa hambatan.
Kerugian Negara
Jika praktik ini benar terjadi, negara berpotensi kehilangan triliunan rupiah dari sektor cukai. Selain itu, persaingan industri menjadi tidak sehat karena pabrikan yang taat aturan kalah harga dengan pelaku yang melakukan penyimpangan.
Tanggapan Awal
Sejumlah aktivis dari pasopati EKO/HK, menilai perbedaan tarif cukai memang perlu dikaji ulang. “Selama gap tarif terlalu jauh antara filter dan kretek, celah manipulasi akan selalu ada. Pemerintah harus segera memperketat pengawasan lapangan,” ujar seorang pengamat ekonomi tembakau.
Catatan Publik
Kasus ini menunjukkan bahwa rokok bercukai resmi tidak otomatis bebas dari praktik curang. Celah perbedaan tarif antara filter dan kretek bisa menjadi ladang permainan bagi sebagian pihak. Temuan di Jawa Tengah dan DIY memperkuat dugaan adanya praktik kolusi antara produsen dengan oknum pihak cukai. Transparansi dan pengawasan melekat sangat dibutuhkan agar penerimaan negara tidak terus bocor dan konsumen tidak tertipu oleh produk berlabel legal namun menyimpang.
(Laporan:Jhon)