SLEMAN | PortalIndonesiaNews.Net — Di balik dinding sederhana rumahnya di Padukuhan Glendongan, Kalurahan Caturtunggal, Depok, Sleman, seorang perempuan berusia 60 tahun menyimpan luka yang tak hanya terlihat di tubuh, tapi juga di hatinya. Namanya Suyati — korban penganiayaan yang kini justru dijerat oleh tekanan, bukan keadilan.
Bukan hanya pukulan yang menyakitkan, tapi juga diamnya banyak pihak yang membuatnya semakin terluka. Alih-alih dipeluk oleh perlindungan hukum, Suyati justru dipaksa berdamai. Lebih kejam lagi: ia diancam oleh orang-orang yang seharusnya menjadi sandaran.
“Saya sedang istirahat, tiba-tiba mereka datang bawa surat damai. Saya dipaksa tanda tangan. Kalau tidak, saya diancam dicoret dari keluarga, diusir dari rumah sendiri,” kata Suyati dengan suara tertahan, matanya basah saat ditemui di Bantul, Rabu malam (30/7/2025).
Surat yang katanya “damai” itu tak lahir dari niat tulus. Dibuat sepihak, diteken dalam tekanan, dan disahkan oleh Ketua RT dengan cap resmi. Semua terjadi tanpa pendamping hukum, tanpa ruang untuk berpikir jernih.
Yang lebih menyakitkan, luka di tubuh Suyati belum sempat sembuh, tetapi jiwanya sudah dibenturkan dengan intimidasi — membuatnya nyaris menyerah. Namun, ia memilih bangkit. Ia tak ingin diam.
“Saya tidak kuat, tapi saya juga tidak mau tutup mulut. Saya ingin kasus ini lanjut,” tegasnya, menggenggam keberanian di tengah ketakutan.
Suyati kini menggantungkan harapannya pada negara. Ia sudah melaporkan kasus ini ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3AP2) DIY, membawa serta foto-foto kekerasan dan kronologi yang memilukan.

Langkahnya kecil, tapi sangat berarti.
Di negeri ini, terlalu sering kita mendengar kata “damai” dipaksakan atas nama keluarga, kehormatan, atau ketenangan. Tapi siapa yang peduli pada korban yang dipaksa tersenyum di atas luka?
Laporan : iskandar