BALI|PortalindonesiaNews.Net _ menjadi tonggak sejarah bagi Kabupaten Gianyar. Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Dr. Ketut Sumedana, SH., MH, meresmikan secara serentak Bale Kertha Adhyaksa di 70 Desa/Lurah dan 273 Desa Adat se-Kabupaten Gianyar. Bertempat di Bale Budaya Gianyar, seremoni ini disambut gegap gempita. Namun di balik euforia, muncul pertanyaan tajam: apakah ini bentuk penguatan hukum berbasis kearifan lokal, atau justru indikator mandeknya sistem hukum formal yang tak lagi dipercaya rakyat?
Bale Kertha Adhyaksa digadang-gadang sebagai ruang alternatif penyelesaian konflik hukum berbasis musyawarah dan adat. Sebuah ide luhur yang tak bisa dipungkiri menggugah semangat akar budaya Bali. Bupati Gianyar, I Made Agus Mahayastra, menyebutnya sebagai “langkah cerdas menyelesaikan persoalan hukum di desa.”
Namun publik bertanya: mengapa rakyat harus kembali pada adat untuk mencari keadilan? Apakah karena hukum formal kini tak lagi berpihak kepada wong cilik? Dalam banyak kasus di Bali, masyarakat mengeluhkan prosedur hukum yang lambat, birokratis, dan kerap tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Dalam konteks ini, Bale Kertha Adhyaksa bisa jadi muncul bukan hanya sebagai inovasi, melainkan sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan terhadap institusi hukum konvensional.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, menyebut program ini sebagai representasi spirit Desa Adat. Ia berharap konsep ini bisa menjadi role model nasional. Namun, Kepala Kejati Bali justru menyoroti hal lebih dalam: bahwa baru Bali yang menerapkan Pasal 18 UUD 1945 soal pengakuan hukum adat. Sebuah pengakuan diam-diam bahwa sistem hukum nasional belum sepenuhnya mampu merangkul nilai-nilai lokal.
Di tengah semangat pelestarian budaya, masyarakat menuntut agar program ini bukan sekadar simbol. Harus ada kepastian hukum, transparansi, dan keberpihakan nyata terhadap masyarakat adat. Apakah Bale Kertha Adhyaksa hanya akan menjadi ruang “damai-damainan” tanpa kekuatan legal yang mengikat? Atau akan menjadi panggung baru bagi elite desa menekan pihak lemah?
Acara ditutup dengan pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh desa, namun pesan yang lebih penting tersirat dari antusiasme rakyat: keadilan sejati tak bisa hanya lahir dari seremoni. Rakyat butuh sistem yang membela mereka secara konkret, bukan basa-basi hukum yang menyisakan luka dan ketimpangan.
Jika Bale Kertha Adhyaksa benar-benar ingin menjadi oase keadilan, maka harus ada pengawasan ketat, transparansi penyelesaian, dan kejelasan perlindungan hukum. Sebab bila tidak, ia tak ubahnya hanya jadi “tempat baru” untuk mengubur keadilan yang gagal di pengadilan.
Reporter: Marno