SEMARANG|PortalindonesiaNews.Net – Dugaan praktik yang mengecewakan konsumen kembali terjadi. Kali ini menimpa Rivai, seorang warga Ungaran, saat berbelanja di Alfamart Jalan Diponegoro, Genuk, tepat di samping RSUD Gondo Suwarno. Dengan dalih sistem error, pelanggan tersebut mengalami pengalaman yang merugikan dari selisih harga yang semestinya tidak terjadi. 19 Mei 2025
Rivai membeli tiga jenis barang kebutuhan rumah tangga:
Pampers MamyPoko ukuran L seharga Rp 54.900
Susu Primagro 1+ 750 gram seharga Rp 73.900
Pasta gigi Pepsodent seharga Rp 21.500
Harga total yang seharusnya hanya Rp 150.300, namun transaksi yang dilakukan melalui mobile banking BCA justru tercatat sebesar Rp 185.800, selisih Rp 35.500 tanpa adanya pemberitahuan atau koreksi dari pihak toko.
Saat Rivai menyadari kejanggalan tersebut dan menyampaikan keluhan kepada kasir bernama Yustika, pihak toko justru menawarkan pengembalian tunai—yang jelas bertentangan dengan metode pembayaran awal melalui transfer bank. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah SOP Alfamart mengabaikan hak konsumen secara sistemik?
Ketika dikonfirmasi, Kepala Toko Alfamart bernama Nanda berdalih bahwa sistem toko mengalami gangguan sejak malam sebelumnya. Ia juga mengakui adanya perbedaan harga antara rak dan sistem kasir, dan bahkan menyatakan bahwa sudah ada beberapa pelanggan lain yang mengalami hal serupa sejak pagi.
“Kalau ada selisih harga antara rak dan sistem, biasanya karyawan yang mengganti dari uang pribadi,” ujar Nanda kepada awak media. Pernyataan ini justru memperkuat dugaan bahwa manajemen Alfamart melimpahkan tanggung jawab sistem kepada pegawai tanpa menyelesaikan akar persoalan yang merugikan konsumen.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan tegas melarang pelaku usaha memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Perbedaan harga antara label dan sistem kasir merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur.
Selain itu, Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen juga menegaskan bahwa pelaku usaha tidak boleh menawarkan barang dengan cara yang menyesatkan konsumen, termasuk dalam penetapan harga. Sistem error bukan pembenaran untuk menghindari tanggung jawab hukum, apalagi jika menyebabkan pengalaman yang merugikan secara berulang.
Alfamart sebagai jaringan ritel berskala nasional semestinya mengedepankan integritas sistem dan transparansi informasi kepada pelanggan, bukan malah membiarkan ketidakberesan sistem berulang tanpa penanganan serius.
Kejadian ini menjadi pengingat bagi publik untuk lebih waspada saat bertransaksi, dan bagi pihak berwenang untuk mengawasi serta menindak praktik bisnis yang berpotensi merugikan masyarakat. Sudah saatnya perlindungan konsumen ditegakkan secara nyata, bukan hanya sebatas retorika.
Red/DN