SUMEDANG | PortalindonesiaNews.Net – Di tengah arus globalisasi yang kian deras, Kraton Sumedang Larang justru berdiri teguh menjadi benteng pelestari budaya. Setiap Minggu, bangunan bersejarah Kraton itu disulap menjadi panggung seni tradisional yang hidup dan menggugah nurani.
Tak hanya sekadar pertunjukan, kegiatan seni mingguan ini adalah napas warisan leluhur yang ditiupkan kembali kepada generasi hari ini. Dipimpin langsung oleh Peti (pemangku adat) dan berada di bawah bimbingan Radya Anom Kraton, Rd. Luki, acara ini menjadi bukti nyata bahwa budaya tak pernah mati—asal dijaga dan diwariskan.
“Kegiatan ini bukan hanya pentas seni, tapi juga sarana mengenalkan kembali kekayaan Kraton Sumedang Larang kepada seniman Nusantara, terutama di tatar Jawa Barat,” tutur Asep Suherman, Ketua Umum GAWARIS (Gabungan Wartawan Indonesia Satu) yang turut hadir dalam acara tersebut.
Yang membuat acara ini semakin istimewa adalah kehadiran para juru kawih legendaris. Di antaranya Entay Hayati, maestro kawih asal Desa Cigintung, Cisitu, dan Oneng, seniman dari Rancakalong, yang rutin menyihir suasana dengan lantunan lagu-lagu tradisional Sunda nan syahdu.
Suara merdu mereka bukan sekadar hiburan, melainkan ritus budaya yang menyentuh relung-relung jiwa penonton, menjadikan kraton bukan sekadar situs sejarah—tetapi ruang spiritual dan estetika budaya.
Kraton Sumedang Larang, lewat konsistensinya tiap pekan, membuktikan bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan zaman. Di saat dunia sibuk mengejar tren, kraton ini justru sibuk merawat akar, menjaga nilai, dan menabur warisan untuk masa depan.
Tak heran, kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari komunitas seniman, budayawan, hingga masyarakat lokal yang menyadari pentingnya merawat identitas budaya.
“Kami ingin Kraton Sumedang Larang menjadi mercusuar budaya—bukan hanya untuk Sumedang, tapi juga untuk Indonesia,” tambah Rd. Luki, penuh semangat.
Dengan semangat pelestarian yang terus menyala, Sumedang Larang tak hanya bicara masa lalu, tapi sedang membangun masa depan—melalui irama kawih, gerak tari, dan napas tradisi.
Laporan: Marno