Semarang | PortalindonesiaNews.Net – Praktik jual beli tanah disposal proyek tol yang semestinya bersifat gratis kini disinyalir menjadi ladang bisnis gelap bagi para mafia tanah. Modusnya adalah dalih ganti rugi ongkos ritase (ongkos gendong) senilai Rp50.000 per truk muatan. Ironisnya, aktivitas ini justru terjadi di wilayah zona hijau pertanian di Desa Baran, Kecamatan Ambarawa.
Tim awak media yang melintasi lokasi menemukan adanya aktivitas pemerataan lahan menggunakan tanah buangan (disposal) dari proyek tol, meski lokasi tersebut belum memiliki sistem pengeringan lahan dan berada dalam kawasan pertanian produktif.
Terkesan Kebal Hukum
Ketua RW setempat, Bapak Tugino, saat ditemui secara terbuka mengakui bahwa aktivitas tersebut berada di bawah naungan Subkontraktor FAP yang dikomandoi oleh seseorang bernama Vino. “Tanah disposal ini dijual Rp50 ribu per ritase. Untuk legalitas, kami biasanya ratakan dulu baru urus perizinan,” ungkapnya kepada awak media.
Lebih lanjut, Rudi, selaku pelaksana lapangan, menyebutkan bahwa kegiatan tersebut telah berlangsung lama dan mencakup 13 titik lokasi pemerataan lahan dengan tanah disposal tol. Hingga kini, baru 9 titik yang terselesaikan.
Indikasi Pelanggaran Hukum
Berbagai pelanggaran hukum patut dicermati dalam kasus ini, antara lain:
1. Pelanggaran terhadap UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di mana pemanfaatan zona hijau pertanian untuk keperluan non-pertanian tanpa izin merupakan tindakan ilegal.
2. Pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b terkait perusakan lingkungan tanpa AMDAL dan izin lingkungan, dapat dikenai pidana penjara hingga 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.
3. Potensi tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan aset negara, karena tanah disposal merupakan material proyek pemerintah dan seharusnya tidak diperjualbelikan. Ini bisa masuk dalam lingkup Pasal 2 atau 3 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
4. Pelanggaran administrasi lalu lintas dan keselamatan (ANDALALIN) bila kendaraan proyek melewati jalur yang tidak memiliki analisis dampak lalu lintas resmi.
Seruan Investigasi dan Penindakan
Melihat potensi kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, aparat penegak hukum baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan segera turun tangan. Masyarakat mendesak transparansi dari pihak terkait, terutama dalam penggunaan dan pengawasan tanah disposal proyek tol yang notabene merupakan aset publik.
Kegiatan yang semestinya mendukung pembangunan justru rawan disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Jika tidak ditindak tegas, praktik serupa dikhawatirkan akan menyebar ke wilayah lain.
Red/Rime