SRAGEN | PortalIndonesiaNews.Net – Sebanyak 13 pabrik batik di Kabupaten Sragen menjadi sorotan setelah diduga beroperasi tanpa izin resmi. Bahkan, setelah pemberitaan mencuat, baru ada beberapa pengusaha yang mulai mengurus perizinan (26/03/2025).
Selain izin usaha yang dipertanyakan, pabrik-pabrik ini juga diduga mencemari lingkungan dengan pembuangan limbah yang tidak terkelola. Tak hanya itu, hak-hak pekerja pun diabaikan. Bahkan yang lebih mengejutkan, pabrik ini diduga menggunakan tabung gas LPG 3 kg—yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu untuk kegiatan produksi.
Seorang pekerja yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa mereka hanya menerima upah Rp60.000 per hari bagi pekerja baru dan Rp100.000 per hari bagi pekerja lama. Selain itu, mereka bekerja tanpa perlindungan jaminan sosial tenaga kerja.
“BPJS Ketenagakerjaan tidak ada, Mbak. Kami kerja tanpa ada jaminan apa pun,” ujarnya.
Padahal, sesuai dengan Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja wajib memberikan jaminan sosial kepada pekerja. Jika melanggar, perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda hingga Rp100 juta.
Tim awak media mencoba mengonfirmasi pihak pengusaha, namun sebagian besar tidak merespons. Bahkan, ada yang memilih memblokir kontak WhatsApp saat dimintai tanggapan terkait izin usaha, penggunaan gas elpiji subsidi, dan pengelolaan limbah.
Ketika ditemui, Kepala Desa Pungsari, Parmin, mengaku tidak pernah menerima pengajuan rekomendasi izin dari para pengusaha batik tersebut.
“Tidak pernah pengusaha batik itu meminta rekomendasi izin, Mbak. Saya sudah pernah menegur berkali-kali supaya mereka mengurus izin,” ujarnya.
Saat ditanya apakah ada retribusi atau kontribusi dari pabrik-pabrik batik ini untuk kas desa, Parmin menegaskan bahwa tidak ada kontribusi sama sekali.
Sementara itu, salah satu pengusaha batik bernama Sukamto memilih diam seribu bahasa. Sedangkan Dali, sebelum memblokir WhatsApp, sempat menjawab, “Enek enek wae to Mbak. Dalam proses kok gor dioprak-oprak ae to Mbak. Izin nyatanya juga lama, kayak golek SIM ae, sabar-sabar.”
Investigasi di lokasi menunjukkan bahwa pabrik-pabrik ini diduga membuang limbah cair berwarna langsung ke aliran selokan dan sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 60 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang pembuangan limbah tanpa izin resmi.
Sanksi bagi pelanggaran ini cukup berat, yakni penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar. Selain itu, tindakan ini juga melanggar Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, yang mewajibkan perusahaan mengelola limbah sesuai standar.
Selain dugaan pencemaran lingkungan dan pelanggaran ketenagakerjaan, pabrik-pabrik ini juga diduga beroperasi tanpa dokumen legal yang sah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 24 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengharuskan setiap usaha memiliki izin resmi.
Jika terbukti melanggar, sanksinya bisa berupa pencabutan izin usaha dan denda administratif.
Masyarakat Menunggu Tindakan Tegas Pemerintah
Dengan berbagai pelanggaran ini, masyarakat berharap agar pemerintah segera bertindak dengan:
✅ Melakukan audit ulang terhadap izin dan kepatuhan operasional pabrik.
✅ Memeriksa dampak lingkungan melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
✅ Menindak tegas pelanggaran ketenagakerjaan, agar hak pekerja tidak terus diabaikan.
(Red/Time)