SRAGEN |PortalIndonesiaNews.Net – Sungguh ironis! Di tengah gencarnya kampanye perlindungan lingkungan dan kesejahteraan tenaga kerja, sebuah pabrik batik di Kabupaten Sragen justru diduga melakukan berbagai pelanggaran serius. Pabrik ini beroperasi tanpa izin resmi, membuang limbah beracun sembarangan, mengeksploitasi pekerja, dan lebih parahnya lagi, menggunakan tabung gas LPG 3 kg—subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat miskin—untuk operasionalnya.
Yang lebih memprihatinkan, meskipun berbagai dugaan pelanggaran ini terjadi terang-terangan, pemerintah daerah tampak diam dan seolah menutup mata!
Dugaan eksploitasi tenaga kerja semakin nyata setelah beberapa pekerja pabrik mengungkap kondisi mereka. Gaji yang diberikan sangat minim, yakni Rp60.000 per hari untuk pekerja baru dan Rp100.000 bagi yang sudah lama bekerja.
Lebih buruk lagi, tidak ada BPJS Ketenagakerjaan maupun jaminan sosial lainnya yang menjadi hak pekerja.
“BPJS Ketenagakerjaan tidak ada, Mbak. Kami kerja tanpa ada jaminan apa pun,” ungkap seorang pekerja yang enggan disebutkan namanya.
Tindakan ini jelas melanggar Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan pengusaha memberikan jaminan sosial bagi karyawannya. Jika melanggar, pemilik usaha bisa dijerat hukuman penjara hingga 1 tahun atau denda hingga Rp100 juta.
Namun, hingga kini tidak ada tindakan dari pemerintah daerah untuk menegakkan aturan ini.
Selain dugaan eksploitasi pekerja, pabrik ini juga melakukan kejahatan lingkungan. Limbah cair beracun diduga dibuang langsung ke selokan tanpa pengolahan sehingga menyebabkan perubahan warna air.
Praktik ini melanggar Pasal 60 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang keras pembuangan limbah tanpa izin resmi. Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.

Selain itu, tindakan ini juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, yang mewajibkan perusahaan mengelola limbah sesuai standar.
Yang menjadi pertanyaan: Dimana Dinas Lingkungan Hidup (DLH)? Mengapa tidak ada tindakan tegas?
Saat tim media mencoba meminta konfirmasi ke rumah pemilik pabrik, tempat tersebut tampak kosong dan tidak ada orang yang bisa dimintai keterangan.
Upaya konfirmasi melalui WhatsApp juga tidak mendapat respons, meskipun sudah ditunggu berjam-jam.
Yang lebih mengherankan, pemerintah daerah juga seolah-olah tidak peduli terhadap berbagai pelanggaran ini. Hingga berita ini ditulis, belum ada tindakan tegas untuk menutup atau menindak pabrik yang diduga melanggar hukum ini.
Apakah ini karena adanya pembiaran atau bahkan “main mata” dengan oknum tertentu?
Pabrik ini diduga tidak memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan izin operasional yang sah. Ini jelas melanggar Pasal 24 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mewajibkan semua usaha memiliki izin resmi sebelum beroperasi.
Tanpa dokumen legal, seharusnya pabrik ini sudah ditutup! Namun, kenyataannya pabrik masih bebas beroperasi tanpa gangguan.
Jika pemerintah serius menegakkan aturan, seharusnya izin usaha pabrik ini segera dicabut dan pemiliknya dikenai sanksi administratif.
Lantas, mengapa pengawasan terhadap pabrik ilegal seperti ini begitu lemah?
Dengan berbagai pelanggaran serius ini, masyarakat menuntut agar pemerintah daerah segera bertindak tegas!
Langkah yang harus segera diambil:
✅ Audit ulang izin dan legalitas pabrik
✅ Investigasi dampak lingkungan oleh DLH
✅ Menindak tegas pelanggaran ketenagakerjaan
✅ Memastikan pabrik tidak lagi menggunakan LPG subsidi rakyat miskin
✅ Menutup operasional pabrik jika terbukti melanggar aturan
Jika pemerintah tetap diam dan membiarkan kejahatan ini terjadi, maka patut dicurigai adanya pembiaran atau bahkan “permainan di balik layar”!
(Red/Time)