SEMARANG – Korelasi antara penalaran hukum dengan penemuan kebenaran sering kali bertumpu pada metode logika induksi dan deduksi, yang menjadi dasar penemuan kebenaran dalam ilmu hukum. Dalam konteks sengketa Pilkada Gubernur Jawa Tengah 2024, upaya hukum Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah No. 1, Andika-Hendi, yang mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai akan sulit dikabulkan oleh hakim.
Hal ini disebabkan oleh substansi posita dan petitum gugatan yang mengangkat isu Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), yang menurut pengamatan Sofyan Mohammad, sulit dibuktikan. “Uraian tersebut dapat menciptakan ambiguitas atau bahkan dianggap sebagai abscuur libel, karena dalam perspektif penalaran hukum, ilmu hukum yang bersifat preskriptif menuntut adanya kejelasan dalam nilai, asas, norma, dan tujuan hukum,” jelasnya.
Sofyan juga menyoroti bahwa dalam ilmu hukum, prosedur atau tata cara yang diatur dalam regulasi Pemilu menjadi instrumen penting untuk mencapai tujuan hukum. Fakta bahwa Paslon No. 2 Ahmad Lutfi-Taj Yasin unggul dengan selisih signifikan di 32 dari 35 kabupaten/kota menjadi dasar kuat untuk membantah dalil yang diajukan oleh Paslon No. 1.
“Jika pola pembuktian yuridis-normatif di Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan kasusistik, maka dalil-dalil dalam posita gugatan Paslon No. 1 akan sulit dibuktikan. Sebaliknya, alat bukti yang dimiliki oleh Paslon No. 2 dapat menjadi faktor pembeda yang menentukan,” tambahnya.
Paslon No. 2 Ahmad Lutfi-Taj Yasin dinilai telah berhasil memetakan potensi pola kecurangan yang mungkin dilakukan oleh Paslon No. 1, meskipun Paslon No. 1 didukung oleh partai politik yang memiliki rekam jejak kuat di Jawa Tengah, yang dikenal sebagai “kandang banteng”.
Dalam perspektif penalaran hukum, penemuan kebenaran bertujuan untuk menciptakan norma hukum yang mendukung realisasi tujuan hukum. Norma ini diwujudkan dalam bentuk rechtsbeslissing berupa norma umum dan norma individu. Dalam hal ini, Sofyan mengutip Hans Kelsen yang menekankan pentingnya norma umum sebagai dasar norma individu. Namun, ia juga mencatat pandangan Ter Haar, yang menyatakan bahwa norma umum dan individu dapat lahir secara bersamaan.
“Jika hakim MK memutuskan menolak permohonan Paslon No. 1, hal ini akan sejalan dengan adagium Debet Quis Juri Subjacere Ubi Delinquit, yaitu seorang penggugat harus tunduk pada hukum yang berlaku di tempat tersebut,” tutup Sofyan Mohammad.
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPKada Pilgub Jateng 2024 ini akan menjadi penentu utama, tidak hanya bagi hasil akhir Pilkada, tetapi juga sebagai pembelajaran penting dalam pelaksanaan demokrasi yang berkeadilan di Indonesia.
(Red/Iskandar)