PortalindonesiaNews.Net _ Polemik mengenai keberadaan Pabrik Sun Mortar di Bergas, Kabupaten Semarang, terus mencuat. Pabrik tersebut diduga melanggar aturan alih fungsi lahan hijau yang seharusnya diperuntukkan untuk ketahanan pangan. Lebih parahnya lagi, pabrik ini disorot karena abai terhadap keselamatan kerja, dengan catatan insiden yang pernah menelan korban jiwa.
Keberadaan pabrik ini juga menimbulkan pertanyaan besar terkait pengawasan pemerintah daerah. Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Semarang diduga tidak transparan dan justru memperumit akses informasi publik terkait legalitas pabrik tersebut.
Pernyataan Kontradiktif dari Pihak Pabrik
Saat dimintai keterangan, Kepala Pabrik Sun Mortar, Leo, mengaku tidak memiliki informasi atau kewenangan terkait status lahan pabrik. “Itu bukan ranah saya. Saya tidak tahu-menahu soal izin atau status lahan hijau,” ungkapnya dengan canggung.
Di sisi lain, Direktur Utama Pabrik, Cahya, memberikan klaim berbeda melalui pesan WhatsApp. “Kami sudah mengantongi izin lengkap, termasuk izin pengeringan lahan sejak 2012,” tulis Cahya. Namun, pernyataan ini dibantah oleh sejumlah sumber yang enggan disebutkan namanya. “Pabrik ini berdiri di atas lahan hijau tanpa izin resmi. Ini jelas melanggar peruntukan tata ruang,” ungkap salah satu sumber.

PTSP Dinilai Tidak Transparan
Awak media mencoba mengonfirmasi ke Dinas PTSP Kabupaten Semarang dan diterima oleh dua staf bernama Aji dan Nindi. Namun, konfirmasi tersebut justru berujung pada kebuntuan. Awak media diminta mengajukan pertanyaan secara tertulis sesuai prosedur pengaduan.
Ketika ditanya apakah lahan hijau dapat dialihfungsikan menjadi kawasan industri, Nindi hanya menjawab singkat, “Kami belum bisa memberikan informasi detail.” Jawaban ini dinilai mengecewakan dan melanggar hak publik atas keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 serta UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Tindakan PTSP yang mengharuskan pengajuan tertulis juga dianggap menghambat tugas jurnalistik, yang melanggar Pasal 18 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Ini bisa dianggap sebagai upaya menghalangi hak jurnalis untuk memperoleh dan menyebarkan informasi,” tegas seorang pakar hukum.
Keselamatan Kerja yang Terabaikan
Pabrik Sun Mortar juga disorot karena dugaan pengabaian keselamatan kerja. Salah satu warga yang enggan disebut namanya mengungkapkan bahwa pabrik ini pernah mengalami insiden fatal. “Keselamatan pekerja tampaknya bukan prioritas. Pabrik ini pernah memakan korban jiwa,” ujarnya.
Jika terbukti lalai, pabrik dapat dikenakan sanksi sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Bahkan, Pasal 359 KUHP menyebutkan sanksi pidana untuk kelalaian yang menyebabkan kematian.
Dugaan Pelanggaran Tata Ruang
Keberadaan pabrik di zona hijau dinilai melanggar UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 69, yang menyebutkan bahwa pelanggaran tata ruang dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman denda hingga Rp 5 miliar atau pidana penjara.
“Selain itu, Perda Kabupaten Semarang mewajibkan pembangunan di zona hijau sesuai peruntukan yang ditetapkan. Fakta bahwa pabrik Sun Mortar tetap beroperasi menunjukkan adanya dugaan kelalaian pemerintah daerah dalam pengawasan tata ruang.
Tuntutan Penegakan Hukum
Masyarakat mendesak agar pihak terkait, baik pemerintah daerah maupun manajemen pabrik, bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran ini. “Semua pihak yang terlibat harus diproses secara hukum. Jangan ada tebang pilih,” tegas seorang aktivis lingkungan.
Selain itu, peningkatan pengawasan terhadap standar keselamatan kerja di seluruh pabrik di wilayah Kabupaten Semarang juga menjadi tuntutan publik.
PortalIndonesiaNews.net akan terus mengawal perkembangan kasus ini demi memastikan transparansi, keadilan, dan kepentingan masyarakat luas.
(Red/Time)