SEMARANG – Pesta demokrasi Pilgub dan Pilkada Serentak 2024, yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan nilai luhur demokrasi, kini berubah menjadi cermin bobroknya etika politik di Indonesia. Dengan praktik politik uang, eksploitasi kondisi ekonomi rakyat, dan intervensi kekuasaan yang semakin terang-terangan, demokrasi Indonesia tampak kehilangan arah dan substansi.
Transaksi Kepentingan Menggerus Nilai Demokrasi
Pemilihan kepala daerah, yang seharusnya menjadi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaik, kini didominasi oleh praktik transaksional. Politik uang, seperti serangan fajar berupa amplop berisi uang, sembako, hingga bantuan sosial, menjadi alat utama untuk meraih dukungan.
“Praktik ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah dianggap biasa oleh masyarakat. Ironisnya, kondisi ekonomi yang sulit membuat masyarakat memaklumi bahkan menunggu praktik ini,” ujar seorang tokoh masyarakat di Jawa Tengah.
Eksploitasi Kemiskinan: Rakyat Dijadikan Alat Politik
Ketimpangan ekonomi menjadi celah bagi para calon pemimpin untuk memanfaatkan kerentanan masyarakat. Bantuan sosial yang semestinya bersifat murni kemanusiaan kini kerap digunakan sebagai alat politik.
Menurut Joko Tirtono, SH, yang akrab disapa Jack LCKI, kondisi ini mengancam keberlangsungan demokrasi yang sehat. “Masyarakat dijadikan alat untuk kepentingan elite, dan dalam jangka panjang, ini merusak moralitas demokrasi,” tegasnya.
Para calon pemimpin yang menggunakan cara-cara ini sering kali mengabaikan konsekuensi jangka panjang. Budaya santun dalam politik tergantikan oleh pragmatisme, di mana suara rakyat diubah menjadi komoditas yang bisa dibeli.
Intervensi Kekuasaan: Netralitas yang Dipertanyakan
Tidak hanya di tingkat kandidat, intervensi dari pihak-pihak berkuasa semakin mengkhawatirkan. Sejumlah tokoh negara, yang seharusnya menjaga netralitas, justru terlihat mendukung calon tertentu dengan memberikan bantuan sosial secara langsung.
“Institusi negara kehilangan integritas ketika ikut dalam permainan politik. Ini bukan lagi pesta demokrasi, tetapi ajang memperkuat dominasi kekuasaan,” ungkap seorang pengamat politik nasional.
Oligarki dan Kejahatan Politik Semakin Kuat
Oligarki menjadi kekuatan dominan dalam Pilkada dan Pilgub 2024. Pemilik modal besar menggunakan kekayaan mereka untuk mengendalikan hasil pemilu, menjadikan rakyat kecil hanya sebagai penonton dalam demokrasi yang mestinya milik mereka.
“Dalam kondisi ini, pemimpin yang terpilih cenderung mengutamakan kepentingan para oligark, melupakan janji-janji kepada rakyat. Akibatnya, selama lima tahun ke depan, rakyat harus menghadapi dampak buruk dari pemimpin yang tidak amanah dan korup.
Harapan Akan Pemimpin Berintegritas
Meski demokrasi tengah terancam, harapan masih ada. Rakyat Indonesia mendambakan pemimpin yang tidak hanya menjual janji, tetapi juga mampu memberikan solusi nyata atas masalah bangsa.
“Kita harus lebih kritis dalam memilih pemimpin. Jangan lagi tergoda politik uang. Suara kita menentukan masa depan bangsa,” kata seorang aktivis demokrasi di Jakarta.
Refleksi untuk Masa Depan Demokrasi
Pilkada dan Pilgub Serentak 2024 menjadi ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Jika praktik buruk ini terus berlanjut, demokrasi hanya akan menjadi alat bagi segelintir orang untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Dibutuhkan reformasi sistem politik, pendidikan politik bagi masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas untuk mengembalikan nilai luhur demokrasi. Jika tidak, pesta demokrasi hanya akan menjadi ajang transaksi kepentingan, meninggalkan rakyatdalam penderitaan yang berkepanjangan.
(Red/Time)