SEMARANG, Fenomena pinjaman online (Pinjol) ilegal di Indonesia telah mencapai titik kritis, menciptakan gelombang tragedi sosial yang menyisakan cerita pilu di tengah masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang terjebak dalam skema pinjaman yang mencekik, menghadapi intimidasi brutal, dan mengalami dampak psikologis hingga keuangan yang sangat serius. Beberapa korban bahkan nekat mengakhiri hidup akibat tekanan yang tak tertahankan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai peran pemerintah dalam melindungi warganya dari jeratan kartel Pinjol ilegal yang semakin merajalela.
Jeratan Pinjol Ilegal: Dari Janji Manis Hingga Teror Brutal
Praktik Pinjol ilegal menyusup ke lini kehidupan masyarakat melalui iklan yang terus-menerus membanjiri ponsel pintar. Tawaran menggiurkan dengan syarat mudah dan tanpa jaminan menarik banyak orang untuk mengajukan pinjaman. Namun, yang terjadi kemudian adalah peminjam dihadapkan pada praktik penagihan yang tidak manusiawi—mulai dari ancaman, teror melalui pesan elektronik, hingga penyebaran data pribadi sebagai bentuk intimidasi.

Ketua DPC PERADI Ungaran
Kuasa Hukum Para Korban Pinjol Ilegal
Pinjaman online ilegal, yang beroperasi di luar regulasi, kerap menawarkan bunga tinggi yang tidak masuk akal dan menyebabkan banyak peminjam terperangkap dalam siklus utang yang tak berujung. Masyarakat yang sudah kesulitan ekonomi pasca-pandemi menjadi sasaran empuk para pelaku pinjol ilegal ini. “Praktik pinjol ilegal tidak hanya merugikan masyarakat secara materiil, tetapi juga mencederai mental dan psikologis korban,” ujar Mohammad Sofyan, Ketua DPC PERADI Ungaran sekaligus kuasa hukum para korban.
Pelanggaran Hukum yang Dibiarkan: Negara Abai dalam Melindungi Warganya
Tindakan para pelaku Pinjol ilegal jelas melanggar sejumlah regulasi hukum yang ada di Indonesia, antara lain:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menekankan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama terkait perlindungan data pribadi, yang seringkali disalahgunakan oleh pelaku Pinjol ilegal.
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman kekerasan dan ketakutan.
Meski berbagai aturan telah diterbitkan, termasuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 77/POJK.01/2016, perlindungan terhadap konsumen masih terbilang lemah. Kasus intimidasi yang dilakukan oleh debt collector Pinjol ilegal terus terjadi tanpa ada tindakan tegas dari pihak yang berwenang.
“Negara wajib hadir untuk melindungi warga negaranya, sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,” tegas Mohammad Sofyan. Namun, kenyataannya, negara seakan-akan diam dan abai dalam menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk melindungi masyarakat.
Tuntutan Hukum: Menggugat Pemerintah untuk Bertindak
Sikap pemerintah yang terkesan pasif ini dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad), sesuai dengan definisi yang tercantum dalam Perma No. 2 Tahun 2019. Dalam konteks ini, pemerintah dianggap lalai menggunakan kewenangannya untuk menghentikan praktik Pinjol ilegal, meski memiliki instrumen yang memadai.
Mohammad Sofyan sebagai kuasa hukum para korban berencana untuk menggugat pemerintah secara perdata di Pengadilan Negeri dengan tuntutan agar pemerintah lebih serius dalam menindak kartel Pinjol ilegal. Gugatan ini akan diajukan kepada sejumlah pihak, antara lain:
1. Presiden Republik Indonesia
2. Menteri Komunikasi dan Informatika RI
3. Menteri Koperasi dan UKM RI
4. Ketua DPR RI
5. OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
6. Kapolri
7. AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia)
Langkah ini diambil sebagai bentuk protes terhadap lambannya penanganan pemerintah dalam membasmi pinjol ilegal yang telah menimbulkan banyak korban. “Negara yang memiliki kewenangan untuk memblokir aplikasi atau situs Pinjol ilegal seharusnya lebih proaktif,” tambah Sofyan.
Kewajiban Negara: Memblokir dan Mengatur Pinjol Ilegal
Dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika diberi mandat untuk mengawasi dan menutup akses ke platform digital yang merugikan masyarakat. Namun, hingga saat ini, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.
Dari data yang dihimpun, Indonesia memiliki lebih dari 200 juta pengguna internet, dan 167 juta di antaranya menggunakan ponsel pintar. Dengan penetrasi yang begitu tinggi, iklan pinjol ilegal yang membombardir ponsel pengguna menjadi ancaman nyata. Negara harus mampu menggunakan segala sumber daya yang dimiliki untuk melindungi masyarakat dari jeratan ini.
Kesimpulan dan Harapan
Dengan langkah hukum ini, diharapkan pemerintah dapat segera mengambil tindakan yang lebih konkret untuk memberantas praktik Pinjol ilegal. Regulasi yang jelas dan tegas perlu dibuat untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. “Masyarakat tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian menghadapi mafia Pinjol yang beroperasi di luar kendali,” tutup Mohammad Sofyan.
Jika tuntutan ini berhasil, akan menjadi preseden penting bagi penegakan hukum di Indonesia, sekaligus menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa melindungi masyarakat adalah prioritas utama. Mohammad Sofyan Ketua DPC PERADI UngaranKuasa Hukum Para Korban Pinjol Ilegal
(Red/ISKANDAR)