Grobogan, Polemik mengenai pungutan biaya di lingkungan sekolah kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, kasus tersebut terjadi di SMPN 1 Klambu dan SMPN 7 Purwodadi, yang keduanya dipimpin oleh Kepala Sekolah Bapak Ponco. Berdasarkan laporan yang diterima awak media, terdapat perbedaan antara keterangan pihak sekolah dengan pengakuan orang tua siswa terkait pungutan biaya pendidikan.
SMPN 1 Klambu: Bantahan dari Pihak Sekolah
Ketika awak media mengunjungi SMPN 1 Klambu, Kepala Sekolah Bapak Ponco sedang menghadiri rapat sehingga tidak dapat ditemui secara langsung. Sebagai gantinya, Bapak Zuhri, yang sementara menggantikan bagian Tata Usaha (TU), memberikan klarifikasi. Dalam wawancaranya, Bapak Zuhri menyatakan dengan tegas bahwa SMPN 1 Klambu tidak melakukan pungutan dalam bentuk uang gedung maupun Lembar Kerja Siswa (LKS). Bahkan, sekolah memberikan kebebasan kepada siswa untuk membeli seragam atau tidak.
“Kami tidak menarik uang gedung, LKS, maupun seragam. Semua kami serahkan kepada orang tua siswa apakah mau membeli seragam di luar atau tidak,” jelas Bapak Zuhri.
Namun, temuan di lapangan menunjukkan perbedaan. Sejumlah orang tua siswa yang ditemui mengungkapkan adanya sejumlah biaya yang harus dibayarkan. Mereka menyebutkan bahwa seragam batik dihargai sekitar Rp300.000, sementara untuk paket seragam lengkap (3 setel) dipatok Rp850.000, dan seragam olahraga Rp110.000. Selain itu, terdapat pungutan uang LKS sebesar Rp100.000 serta uang gedung yang sifatnya sukarela.
Seorang orang tua siswa, yang enggan disebutkan namanya, menyatakan bahwa mereka merasa tertekan untuk membayar meskipun disebut “sukarela”. “Kalau tidak bayar, anak kami khawatir dipermasalahkan. Meski dikatakan sukarela, rasanya seperti wajib,” ungkapnya.
SMPN 7 Purwodadi: Praktik yang Sama di Sekolah Berbeda
Menariknya, Bapak Ponco juga menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMPN 7 Purwodadi. Berdasarkan informasi yang dihimpun, sekolah ini juga menerapkan pungutan untuk seragam dan LKS. Harga yang disebutkan antara lain, seragam olahraga Rp110.000, seragam batik sekitar Rp300.000, dan biaya LKS Rp140.000.
Sejumlah orang tua siswa di SMPN 7 Purwodadi menyampaikan keluhan yang serupa. Mereka menilai bahwa pungutan ini memberatkan di tengah kondisi ekonomi yang sulit. “Kami sebagai orang tua ingin yang terbaik untuk anak, tapi biaya seperti ini sangat memberatkan,” ujar salah satu orang tua.
Dasar Hukum dan Aturan Pemerintah Terkait Pungutan di Sekolah
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, sekolah negeri dilarang melakukan pungutan yang memberatkan orang tua siswa. Selain itu, dalam Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan dasar di sekolah negeri tidak boleh memungut biaya dalam bentuk apapun karena sudah dibiayai oleh pemerintah.
Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang menegaskan pentingnya sekolah untuk tidak melakukan praktik pungutan yang dapat memberatkan masyarakat. Hal ini merupakan bagian dari upaya menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan bebas pungutan liar.
Kesimpulan dan Tindak Lanjut
Polemik ini memunculkan pertanyaan terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sekolah, khususnya di SMPN 1 Klambu dan SMPN 7 Purwodadi. Perbedaan antara pernyataan pihak sekolah dan keluhan orang tua siswa menunjukkan adanya potensi penyimpangan yang perlu ditindaklanjuti oleh pihak berwenang, seperti Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan.
Diharapkan, pihak terkait segera melakukan investigasi menyeluruh untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan. Orang tua siswa berhak mendapatkan kepastian bahwa sekolah negeri yang seharusnya bebas biaya tidak malah membebani mereka dengan pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
PortalIndonesiaNews.net akan terus memantau perkembangan kasus ini dan menyajikan informasi terkini kepada para pembaca.
(Red/Time )