Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

"Nasib Tragis Buruh Setia PT Matahari Pekalongan: Terancam Tanpa Pesangon, Terpaksa Mundur Setelah 23 Tahun Mengabdi"

Sabtu, 05 Oktober 2024 | Sabtu, Oktober 05, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-05T10:10:42Z

Foto istimewa Dok PIN NAS

PEKALONGAN | portalindonesianews.netNasib tragis menimpa Rina Agustina, seorang buruh yang telah setia bekerja selama 23 tahun di PT Matahari Department Store cabang Pekalongan. Tuduhan pengambilan poin member senilai kurang dari Rp 10.000 menyebabkan Rina harus menerima sanksi berat dan akhirnya dipaksa mengundurkan diri tanpa pesangon. Kejadian ini memicu perhatian serius dari Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI), yang kini mengadvokasi kasus Rina hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Kronologi Pemaksaan Mundur Buruh Lama

Rina Agustina telah bekerja sebagai kasir di PT Matahari Pekalongan selama lebih dari dua dekade. Sebagai pekerja yang loyal, Rina menjalani pekerjaannya dengan disiplin, datang tepat waktu, dan melaksanakan tugas sesuai aturan. Namun, sebuah insiden pada 24 Agustus 2023 menjadi titik balik kelam bagi Rina. Saat itu, ia dipanggil oleh pimpinan HRD, Ahmad Hamami, dan manajer, Yulianto, yang menudingnya mengambil poin member senilai kurang dari Rp 10.000.

Rina terkejut ketika diinterogasi tanpa pendampingan, bahkan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri yang sudah disiapkan. Ancaman dilayangkan oleh pihak perusahaan bahwa jika ia tidak menandatangani, masalah ini akan dibawa ke kepolisian, dan Rina tidak akan mendapat pesangon. Dalam situasi tertekan, Rina terpaksa menyerah dan menandatangani surat pengunduran diri, tanpa mendapatkan hak pesangon yang seharusnya menjadi haknya.

Dugaan Modus Pemaksaan Pengunduran Diri

LCKI melihat kejadian yang menimpa Rina sebagai dugaan adanya modus dari pihak manajemen PT Matahari untuk menghindari kewajiban membayar pesangon kepada karyawan yang telah lama bekerja. "Ada indikasi bahwa pemaksaan karyawan untuk menulis surat pengunduran diri tanpa melalui peringatan resmi adalah upaya untuk menghindari kewajiban pesangon," ujar Y. Joko Tirtono, SH, penasihat hukum LCKI. Joko menambahkan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang serius dan tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.

Prosedur pemutusan hubungan kerja semestinya mengikuti tahapan peringatan, yakni Surat Peringatan (SP) 1, 2, dan 3, bukan dengan cara intimidasi. “Apakah ini sudah menjadi SOP dari kaum kapitalis? Para petinggi Matahari seharusnya bisa lebih bijak dalam menangani kesalahan karyawan, bukannya justru memanfaatkan kelemahan hukum untuk menekan pekerja,” lanjutnya.

Perjuangan LCKI Membela Hak Buruh

Setelah pemutusan kerja yang tidak adil tersebut, Rina segera melaporkan kasusnya kepada LCKI pada Januari 2024. Pada tanggal 15 Januari 2024, LCKI yang diwakili oleh Y. Joko Tirtono, SH, mulai mengambil langkah hukum dengan menyurati pihak Matahari untuk meminta klarifikasi. Namun, tiga kali surat klarifikasi yang dilayangkan oleh LCKI, yaitu surat bernomor 004/LCK/JTG/22/1/2024, 005/LCKI/JTG/5/2024, dan 070/LCKI/JTG/1/5/2024, tidak mendapatkan respons memuaskan dari PT Matahari.

Dalam mediasi yang dilakukan pada tahun 2024, pimpinan Matahari yang diwakili oleh Suryo menjanjikan untuk meninjau ulang kasus Rina dan bahkan berjanji akan mengunjungi rumah Rina yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Suami Rina sedang sakit, sementara anak-anaknya masih bersekolah. Namun, janji tersebut tidak pernah ditepati, dan tidak ada tindak lanjut dari pihak Matahari.

Mediasi dengan Disperinaker Tidak Membuahkan Hasil

Upaya LCKI tidak berhenti di situ. Mereka melibatkan Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kota Pekalongan untuk menjembatani mediasi antara Rina dan PT Matahari. Tiga kali pertemuan mediasi diadakan, namun tetap tidak ada kesepakatan yang memuaskan. Matahari bersikukuh hanya memberikan kompensasi sebesar tiga kali gaji, sementara LCKI menuntut setidaknya separuh dari pesangon normal yang seharusnya diterima Rina setelah 23 tahun mengabdi.

Menurut LCKI, pengabdian Rina selama lebih dari dua dekade tidak sebanding dengan kesalahan yang dinilai merugikan perusahaan tidak lebih dari Rp 10.000. Disperinaker sendiri telah berusaha meminta kebijakan dari pihak Matahari, namun hal itu juga tidak dihiraukan oleh manajemen perusahaan.

Pesan Rina untuk Rekan-Rekan Sesama Buruh

Rina yang kini hidup dalam kesulitan ekonomi, hanya bisa berharap agar rekan-rekannya di PT Matahari tidak mengalami nasib serupa. "Saya sudah menanggung ini, tapi teman-teman harus tetap semangat bekerja. Jangan sampai lalai dan melakukan kesalahan sekecil apa pun, karena di sini tidak ada ruang untuk kesalahan. Pasti akan dipaksa membuat surat pengunduran diri," ujar Rina dengan getir.

Walaupun mengalami cobaan berat, Rina tetap berpesan agar rekan-rekannya berhati-hati dan tetap profesional dalam menjalankan tugas. “Jangan sampai ada lagi korban seperti saya, yang sudah puluhan tahun mengabdi tapi akhirnya diperlakukan seperti ini,” imbuhnya.

LCKI Melanjutkan Perjuangan ke Pengadilan Hubungan Industrial

Y. Joko Tirtono, SH, menyatakan bahwa LCKI akan terus berjuang untuk memastikan hak-hak buruh terlindungi. “Kami akan membawa kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial di Semarang. Meskipun Rina tidak memiliki biaya, kami akan terus memperjuangkan haknya demi keadilan,” ujar Jack Lawyer, sapaan akrabnya. Menurut Joko, langkah ini penting tidak hanya untuk Rina, tetapi juga untuk memperjuangkan hak-hak buruh lainnya yang mungkin berada dalam situasi serupa.

Perjuangan Rina bersama LCKI diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi perusahaan-perusahaan besar agar lebih menghargai dan memperlakukan karyawan dengan adil, sesuai dengan hukum dan norma kemanusiaan. Di tengah tekanan ekonomi yang berat, perlindungan terhadap kaum buruh harus menjadi perhatian utama demi kesejahteraan bersama.


Penulis: Red/Time


×
Berita Terbaru Update