![]() |
Foto istimewa Dok PIN |
JAKARTA|PortalindonesiaNews.net, Menurut data BPS tahun 2022, produksi susu segar di Indonesia hanya sekitar 968 ribu ton, sementara kebutuhan nasional mencapai 4,4 juta ton. Dengan populasi sapi perah yang saat ini hanya 507 ribu ekor, angka ini jauh dari target populasi ideal pemerintah, yaitu 2,5 juta ekor. Tantangan ini terutama dihadapi oleh peternakan rakyat yang menyumbang 90% produksi susu dalam negeri.
Salah satu solusi yang sering dibahas adalah kebijakan impor indukan sapi perah untuk meningkatkan populasi sapi perah dan mempercepat produksi susu. Namun, kebijakan ini perlu disertai dengan langkah-langkah pemberdayaan bagi peternak sapi perah, sesuai dengan semangat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 7 Tahun 2007, yang menekankan pada pembangunan masyarakat melalui pemberdayaan dan kemandirian.
Kebijakan Pemberdayaan untuk Mencegah Monopoli
Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini sangat penting untuk mencegah dominasi monopoli dan persaingan tidak sehat. Jika pemerintah berhasil mendorong pemberdayaan peternak sapi perah, mereka dapat memanfaatkan kebijakan impor indukan sapi untuk memperbaiki taraf hidup dan menggerakkan ekonomi kerakyatan. Sebaliknya, tanpa pemberdayaan, kebijakan ini berisiko hanya menguntungkan kelompok tertentu, sementara peternak sapi perah rakyat tetap terpinggirkan.
Jika sumber susu untuk program minum susu gratis diambil dari impor susu, program ini berpotensi berubah menjadi proyek pengadaan barang dan jasa yang tidak menyentuh kepentingan peternak. Oleh karena itu, penting agar kebijakan impor indukan sapi perah juga berpihak pada peternak lokal. Berikut adalah beberapa harapan dan keinginan peternak sapi perah terkait kebijakan impor ini:
Harapan dan Keinginan Peternak Sapi Perah
Pertama, para peternak sapi perah berharap indukan sapi perah hasil impor bisa dipelihara oleh mereka sendiri atau dikelola oleh koperasi peternak sapi perah. Hal ini penting mengingat 90% produksi susu dalam negeri dihasilkan oleh peternak rakyat.
Kedua, harga indukan sapi perah impor sangat tinggi, berkisar antara 25 juta hingga 30 juta rupiah per ekor. Peternak sapi perah berharap pemerintah memberikan subsidi bunga kredit agar mereka mampu membeli sapi melalui kredit. Skema ini perlu dirancang dengan baik agar peternak dapat menjalankan usahanya, sekaligus mendukung program minum susu gratis pemerintah.
Ketiga, ketersediaan lahan menjadi masalah besar bagi peternak. Sekitar 70% peternak sapi perah tidak memiliki lahan, dan hanya 20% yang memiliki lahan untuk menanam rumput sebagai pakan ternak. Oleh karena itu, peternak berharap pemerintah menyediakan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menanam rumput.
Keempat, adanya komitmen dari pemerintah untuk menjamin kerja sama antara peternak sapi perah dan pelaku industri pengolahan susu. Pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha industri untuk menyerap susu dari peternak lokal, bukan hanya mengandalkan susu impor.
Kelima, peternak berharap pemerintah membangun industri pengolahan susu yang dikelola oleh BUMN atau BUMD, dengan menciptakan kemitraan yang kuat antara industri ini dan peternak sapi perah. Dengan adanya kepastian pasar, peternak dapat lebih fokus pada produksi, yang pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan pangan nasional dan mendukung program pemerintah.
“Impor indukan sapi perah bisa menjadi solusi percepatan populasi dan produksi susu nasional. Namun, tanpa kebijakan yang berpihak pada peternak, potensi besar ini bisa hilang dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Oleh karena itu, pemberdayaan peternak melalui dukungan kebijakan yang jelas dan komprehensif adalah kunci keberhasilan dalam mengatasi defisit susu nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penulis: Tonny Saritua Purba, SP
Pengamat Politik Pertanian