|
| Setyawati Pantara, S.Pd. | Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen | SMP Negeri 18 Semarang |
Artikel, PortalIndonesiaNews.net –
1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi peradaban manusia. Melalui pendidikan, seseorang akan mampu menjalani setiap aspek kehidupannya. Itulah mengapa pernyataan tersebut benar adanya, bahwa pendidikan dipercaya mampu membawa pencerahan bagi kehidupan masyarakat dan dianggap dapat membangun peradaban yang lebih baik dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan dapat disebut mencerdaskan manusia. Dalam konteks pendidikan Kristen, pendidikan bukan hanya untuk membentuk manusia yang cerdas melalui penguasaan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi lebih dari itu membentuk manusia yang beriman kepada Kristus dan berpikir serta bertindak berdasarkan prinsip-prinsip iman Kristen. Salah satu prinsip yang diajarkan dalam iman Kristen adalah mengucap syukur.
Mengucap syukur menjadi hal yang menarik dan rumit, khususnya bagi Generasi Z atau Post Generasi Z. Menurut data Badan Pusat Statistik, Generasi Z menempati skor tertinggi untuk tingkat stress yaitu 27, 94% sedangkan generasi Post Gen-Z mengumpulkan 10,88%.[
https://dataindonesia.id/ragam/detail/ikuti-survei-dataindonesiaid-soal-generasi-z-di-indonesia?utm_source=SEM_DI_Survey_Gen_Z&utm_medium=cpc&utm_campaign=SEM_DI_Survey_Gen_Z&utm_id=SEM_DI_Survey_Gen_Z&gclid=EAIaIQobChMI8uigq7n3gAMVVHx9Ch3GeAKQEAAYASAAEgK-8vD_BwE diakses tanggal 25 Agustus 2023.] Skor ini diambil dari potret perilaku digital, pendidikan dan karier, kesehatan, kehidupan berkeluarga, serta pandangan politiknya. Dari beberapa analisa yang muncul ditemukan bahwa Gen-Z dan Post Gen-Z banyak dipengaruhi oleh media sosial dalam menentukan perasaan dan kondisi emosional mereka. Kebanyakan dari generasi ini sulit untuk mengucap syukur atas apa yang mereka miliki karena media sosial lebih cenderung memberi paparan tentang kehidupan yang berkelimpahan, liburan indah, pakaian dan gaya hidup mewah.
Kondisi seperti ini tentu saja berlawanan dengan ajaran mengucap syukur yang diajarkan dalam agama Kristen. Itu sebabnya peran pendidikan Kristen perlu diperkuat untuk mendidik anak-anak generasi Z dan Post Gen-Z untuk memahami konsep mengucap syukur serta mempraktikkan itu dalam kehidupan mereka. Dalam artikel ini, penulis bertujuan untuk mengajukan metode pembelajaran fenomenologi untuk mengajarkan tentang mengucap syukur, secara khusus bagi anak-anak SMP kelas VII di SMP Negeri 18 Semarang.
2. Teori
Pendidikan dipercaya mampu membuat perubahan yang berdampak dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya pendidikan menjadi hal yang penting dalam membangun peradaban kehidupan manusia, dan pendidikan Kristen lebih berorientasi pada pengajaran yang berkaitan dengan iman Kristen. Werner C. Graendorf menyatakan bahwa pendidikan Kristen adalah suatu proses pengajaran dan pembelajaran yang didasarkan pada Alkitab, berpusat pada Kristus, dan bertanggung jawab atas kuasa Roh Kudus yang menuntun setiap orang ke tingkat pertumbuhan melalui pengajaran masa kini menuju pengenalan dan pengalaman akan rencana dan kehendak Allah melalui Kristus di dalam setiap aspek kehidupan, serta memperlengkapi mereka untuk pelayanan yang efektif, berpusat pada Kristus Sang Guru Agung dan perintah yang mendewasakan para murid. Maka pendidikan Kristen harus dapat tampil dengan memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendidik anggota gereja sehingga mereka menjadi dewasa dalam iman Kristen. Mereka juga dapat mengambil keputusan etis secara bertanggung jawab ketika berhadapan dengan hal-hal yang menyangkut kehidupan iman mereka.
Secara umum, kata “syukur” memiliki makna “rasa terima kasih kepada Allah”.[ Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v.v.”syukur”.] Dalam Alkitab Perjanjian Lama, kata mengucap syukur menggunakan kata יָדָה (yada’) yang berarti memuji, berterimakasih. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, kata syukur εὐχαριστέω (eukharisteoo) yang berarti mengekspresikan rasa terimakasih kepada Tuhan. Dalam dua terjemahan ini, kata syukur tidak hanya berupa pujian, kata-kata, atau ucapan namun juga dapat berupa tindakan maupun pemberian yang dipersembahkan dengan ketulusan hati. Selain itu, frasa “mengucap syukur” dapat digunakan dalam beberapa kondisi seperti tanda sukacita (Mzm. 118:19), puji-pujian (2Taw. 5:13), ucapan terimakasih (Luk. 17:16) dan pernyataan iman (Yes. 38:18-19). Lebih daripada itu, Paulus juga mengajarkan bahwa mengucap syukur adalah bagian dari gaya hidup. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1Tes. 5:18) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mengucap syukur tidak hanya berkaitan dengan ucapan terimakasih atau hanya dilakukan dalam kondisi bahagia. Mengucap syukur juga ditunjukkan lewat pengorbanan untuk menyatakan iman bahkan dalam segala hal.
Lebih lanjut, fenomenologi berasal dari kata pahainomenon dari bahasa Yunani yang berarti gejala atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Istilah fenomena dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu fenomena itu selalu menunjuk keluar dan fenomena dari sudut pandang kesadaran kita. Oleh karena itu, dalam memandang suatu fenomena kita harus terlebih dulu melihat penyaringan atau ratio, sehingga menemukan kesadaran yang sejati. Fenomenologi ini berasal dari filsafat yang mengelilingi kesadaran manusia yang dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859—1938) seorang filsuf Jerman. Pada awalnya teori ini digunakan pada ilmu-ilmu sosial. Menurut Husserl ada beberapa definisi fenomenologi, yaitu: (1) pengalaman subjektif atau fenomenologikal, dan (2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Teori ini merupakan hasil dari perlawanan teori sebelumnya yang memandang sesuatu dari paradigma ketuhanan. Jadi secara sederhana, fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi yang berupaya untuk menganalisis secara deskriptif dan introspektif tentang segala kesadaran bentuk manusia dan pengalamannya baik dalam aspek inderawi, konseptual, moral, estetis, dan religius. Lebih lanjut, Martin Heidegger berpendapat tentang fenomenologi Husserl bahwa manusia tidak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, yaitu suatu tempat, panorama atau dunia agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya yang berujung pada eksistensi yang bersifat duniawi.[ Abdul Mujib, “Pendekatan Fenomenologi” dalam Studi Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 6, (Desember, 2015): 167-183.] Fenomenologi adalah pendekatan yang dimulai oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh Martin Heidegger untuk memahami atau mempelajari pengalaman hidup manusia. Pendekatan ini berevolusi sebuah metode penelitian kualitatif yang matang dan dewasa selama beberapa dekade pada abad ke dua puluh. Fokus umum penelitian ini untuk memeriksa/meneliti esensi atau struktur pengalaman ke dalam kesadaran manusia.[ Isaac Tuffour, “A Critical Overview of Interpretative Phenomenological Analysis: A Contemporary Qualitative Research Approach.” Dalam Journal of Healthcare Communications. Vol. 2 No. 4, (Juli; 2017).]
Definisi fenomenologi juga diutarakan oleh beberapa pakar dan peneliti dalam studinya. Menurut Alase (2017) fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam proses penelitian eksploratori. Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Creswell dikutip Eddles-Hirsch (2015) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang tertarik untuk menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman sebuah fenomena individu dalam dunia sehari-hari. Sebagai contoh, studi fenomenologi tentang anorexia bagi beberapa orang yang terjadi dewasa ini. Anorexia merupakan gangguan (kalau dapat dikatakan demikian) makan yang dialami seseorang karena takut terhadap kenaikan berat badan yang disebabkan gaya hidup dan tuntutan budaya populer. Studi ini dapat ditekankan pada kondisi mengapa seseorang ingin seperti ini dan menginterpretasikan hidup mereka berdasarkan sudut padang yang mereka pahami. Studi ini bertujuan untuk memahami dan menggambarkan sebuah fenomena spesifik yang mendalam dan diperolehnya esensi dari pengalaman hidup partisipan pada suatu fenomena.[ Pelin Yuksel dan Sonel Yildirim. “Theoretical Frameworks, Methods, and Procedures for Conducting Phenomenological Studies in Educational Settings” dalam Turkish Online Journal of Qualitative Inquiry, Vol. 6, No. 1 (Januari; 2015).] Singkatnya, metode fenomenologi ini mengajak pembelajar untuk memperhatikan fenomena yang terjadi dan menarik kesimpulan dari berbagai fenomena yang ada untuk memahami sebuah konsep yang terkandung di dalamnya.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif untuk menilai peningkatan pemahaman siswa mengenai “mengucap syukur”. Dalam metode kuantitatif ini, penulis akan mengadakan dua kali penilaian yaitu Pre-test dan Post-test. Dalam proses pembelajaran, penulis akan menggunakan metode Fenomenologi dalam mengajar. Dalam metode ini, penulis akan menunjukkan 3 fenomena yang berbeda menggunakan gambar dan video:
1.10 gambar berisi anak-anak yang menangis akibat perang, orang-orang yang sakit, Wanita menangis karena bencana, dan beberapa gambar terkait penderitaan.
2.Video mengenai anak-anak Afrika yang kelaparan
3.Video mengenai kehidupan anak-anak di kolong jembatan.
Setelah melihat beberapa video ini, anak-anak di bagi dalam kelompok kecil dan kemudian menjawab beberapa pertanyaan terkait gambar dan video-video tersebut. Kemudian penulis akan memberikan beberapa pertanyaan terkait mengucap syukur dan ditutup dengan pemaparan tentang konsep mengucap syukur.
4. Hasil dan Pembahasan
Pemahaman mengenai mengucap syukur merupakan sesuatu yang cukup kompleks bagi anak-anak usia remaja awal. Menurut Piaget, usia 12 tahun merupakan usia awal untuk mengembangkan perlengkapan baru guna memanipulasi informasi. Jika pada masa sebelumnya, anak-anak hanya mampu berpikir konkrit namun pada masa ini mereka mulai mampu berpikir abstrak dan deduktif.[ George Zgourides, Developmental Psychology (California: IDG Books Worldwide, 2000), 91.] Sekalipun demikian, naluri untuk berpikir konkrit dan terpusat pada diri sendiri masih sangat kuat. Oleh karena itu, pembelajaran yang bersifat contoh atau fenomena nyata yang disajikan kepada anak usia ini jauh lebih mudah untuk diterima.
Dalam pembelajaran model fenomenologi, guru memberikan contoh-contoh konkrit berupa gambar atau video yang dapat dilihat secara langsung. Gambar dan video ini memberikan stimulant pada indera penglihatan, pendengaran, dan sedikit stimulant pada indera peraba. Hal ini memberikan keuntungan bagi anak-anak untuk belajar memahami dan merasakan apa yang hendak disampaikan dalam gambar atau video tersebut. Selain itu, diskusi di dalam kelompok juga memberikan dampak penting untuk masing-masing anak dapat menceritakan apa yang mereka pikirkan dan rasakan secara terbuka. Pengambilan keputusan bersama-sama dalam kelompok kecil menjadi sesuatu yang menarik karena masing-masing anak mencoba memberikan pandangan mereka sembari mendengarkan adanya pandangan lain di luar diri mereka. Alhasil, dalam penelitian dengan menggunakan dua macam test yaitu pre-test dan post-test dengan pertanyaan yang sama, maka ditemukan hasil yang cukup signifikan sebagai berikut:
No | Nama Siswa | KKM | Pre-Test | Post-Test |
1 | A.P.A | 70 | 80 | 96 |
2 | D.F.L | 70 | 82 | 98 |
3 | F.P.N | 70 | 81 | 92 |
4 | I.R.C.K | 70 | 65 | 89 |
5 | L.E.U | 70 | 61 | 94 |
6 | N.P.L | 70 | 73 | 88 |
7 | S.E.C | 70 | 66 | 85 |
8 | S.G.E.G | 70 | 56 | 75 |
9 | T.R.P.L | 70 | 59 | 78 |
10 | G.T | 70 | 78 | 90 |
Dari nilai di atas ditemukan nilai rata-rata pre-test adalah
x = F/n Keterangan : x = nilai rata-rata
x = 701/10 F = Jumlah keseluruhan nilai
x = 70,1 n = Jumlah Data
Dalam data ini, ditemukan rata-rata nilai 70,1 dengan nilai maksimal 82 dan nilai minimal 56 dengan presentase kelulusan 50% atau 5 anak dari total 10 anak. Sedangkan menurut data post-Test ditemukan nilai rata-rata sebagai berikut:
x = F/n Keterangan : x = nilai rata-rata
x = 885/10 F = Jumlah keseluruhan nilai
x = 88,5 n = Jumlah Data
Dari data ini, ditemukan rata-rata nilai 88,5 dengan nilai maksimal 98 dan nilai minimal 75 dengan presentase kelulusan 100% atau semua anak lulus. Berdasarkan data yang dipaparkan di atas, ditemukan kenaikan kelulusan sebesar 100% atau dua kali lipat.
Hasil ini membuktikan adanya perkembangan yang cukup signifikan yaitu adanya kenaikan nilai rata-rata kelas sebanyak 26,25% dengan perhitungan sebagai berikut:
u = (npost-test – npre-test)/npre-test x 100% Keterangan: u = kenaikan
u = (885 – 701)/701 x 100% n = nilai total
u = 26,25%
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran fenomenologi cukup berhasil untuk meningkatkan pemahaman mengenai “mengucap syukur” siswa kelas VII SMP Negeri 18 Semarang.
5. Kesimpulan
Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen mengenai tema “mengucap syukur” yang dilakukan oleh siswa kelas VII di SMP Negeri 18 Semarang menunjukkan adanya korelasi positif antara metode fenomenologi dalam proses pembelajaran dengan kenaikan nilai siswa. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan sebesar 26,25% nilai post-test dari nilai pre-test dengan soal yang sama. Selain itu, berdasarkan angka kelulusan maka peningkatan yang didapatkan sebesar 100%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode fenomenologi cukup efektif dalam menolong anak-anak kelas VII SMP Negeri 18 Semarang dalam memahami materi pembelajaran. Dalam hal ini, penulis juga kesimpulan bahwa pembentukan kelompok kecil untuk berdiskusi dan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diskusi sangat menolong siswa untuk memiliki pengalaman dan pemahaman yang lebih komprehensif terkait materi yang disampaikan.
PT. Portal Indonesia News Grup